Monday 7 April 2014

Sejarah Bulungan

Bung Karno hendak di asingkan ke Bulungan, Mitos atau Fakta?


Ada sebuah legenda atau munkin juga mitos dikalangan masyarakat bulungan, khususnya para tetua dulu, ada yang berkisah sebelum Bung Karno hendak di asingkan ke Ende,  Kolonial Belanda mau menempatkan almarhum di Bulungan, namun urung dilakukan karena ada sesuatu dan lain hal, konon ketidak cocokan penguasa Bulungan dengan  Bung karno merupakan salah satu sebabnya.

Sudah lama sekali kisah seperti ini aku dengar, memang agak sulit menemukan sumber aslinya, dan hal ini sejujurnya masih perlu di selidiki lebih lanjut, kisah rencana pengasingan Bung Karno ke Bulungan memang menarik, karena batasan antara fakta dan mitos cukup kental

Namun satu hal yang pasti, jika kita menelusuri sikap Bung Karno, khususnya setelah penyerahan kedaulatan Bulungan ke pangkuan RI, saat itu dikisahkan Bung  Hatta sempat mengunjungi Tarakan dan serta Nunukan, tapi beliau ternyata justru tidak di utus ke istana Sultan yang berkedudukan di Tanjung Palas, padahal jaraknya tidaklah terlalu jauh, kisah kunjungan Bung Hatta sendiri terjadi sekitar tahun 1949-1950, barulah kemudian utusan resmi RI mengunjungi tanjung palas di wakili Madju Urang yang waktu itu menjabat sebagai wakil pemerintah untuk kalimantan Timur.

Bukan bermaksud memulai teori konspirasi, tapi mungkin tak ada salahnya jika kita bertanya-tanya, apakah Bung Karno memiliki memory pribadi tentang Bulungan? apakah penolakan tersebut memiliki arti sendiri di mata Bung Karno? benarkah pemerintah belanda memiliki salinan dokumen tentang rencana pengasingan di Bulungan? dan apakah Bung karno tau tentang peristiwa jatuhnya istana Bulungan?. apapun itu, mitos atau legenda mengenai Bung karno memang tak banyak yang mengetahui, walaupun memory kolektif masyarakat Bulungan sampai hari ini masih mencatatnya dalam ingatan mereka, walaupun si empunya cerita mungkin satu persatu sudah tidak ada lagi di dunia ini. (zee)


Hikayat Daerah Istimewa Bulungan

(Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Kepala Istimewa Daerah Bulungan yang pertama sekaligus yang terakhir)

Bicara tentang sejarah lawas modern Bulungan, khususnya mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan dimasa lampau, tak banyak memang generasi muda yang mengenalnya.

Hikayat mengenai sejarah Daerah istimewa bulungan memang tak dapat dilepaskan dari peran Kesultanan bulungan yang gigih mendukung kemerdekaan Indonesia, karena memang pada faktanya status daerah Istimewa bukan diminta, namun diberi oleh negara Republik Indonesia melalui persetujuan pemerintah pusat.

Dalam catatan sejarah Bulungan, kepala daerah pertama sekaligus terakhir adalah Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, beliau adalah seorang tokoh sejarah yang telah melewati tiga masa sekaligus yaitu zaman belanda, zaman jepang dan era kemerdekaan.

Sultan Muhammad Djaluddin beserta para mentri Khususnya Datuk Bendahara paduka Raja, begitu gigih melawan kehendak belanda di bulungan melalui jalaur diplomasi, dalam sejarah Bendahara Paduka raja atas mandat Sultan Muhammad Djalaluddin – beliau memang tidak disenangi oleh kolonial belanda,- menjalin hubungan rahasia dengan Sultan Gunung Tabur dan Sambaliung di berau untuk mendukung penuh kemerdekaan indonesia, namun pihak kompeni ternyata tak berani menghalangi dengan tegas manuver politik beliau.

(Kantor Kepala Daerah Istimewa Bulungan dalam kenangan)

Demikan pula di tingkatan “akar rumput”, para tokoh pergerakan tak tinggal diam demi menyukseskan integrasi kesultanan bulungan sebagai bagaian dari NKRI tercinta yang kemudian hasil berbuah pada penyatuan Bulungan sebagai bagian dari bangsa indonesia pada 17 Agustus 1949.

Peristiwa ini sendiri digambarkan dengan apik dalam sebuah memorie yang ditulis mengenai kondisi pada saat itu: De anti Nederlandse geest breidde ini de voornaamste gebieden van dit gewest zicht zoodaning uit, dat hetbestuur ijverde voor de invoering van corlog …, de verkiezing van afgvaardigden voor ee Boerneo conferentie word een totale mislukking on kregan de enkele gekezen afgevaardigden Als mandaat mede de aansluiting hij de republik. (semangat anti Belanda telah tersebar luas di daerah ini, sehingga pemerintah berusaha untuk memberlakukan dalam keadaan perang …, Pemilihan utusan ke konfrensi pembentukan negara kalimantan gagal total, karena beberapa utusan yang terpilih memperoleh mandat pengabungan dengan Republik).

Peristiwa ini manjadi era penting masa transisi pemerintahan Kesultanan Bulungan yang telah mengakar berabad lamanya. Setelah bergabung dengan RI, posisi Kesultanan Bulungan sebagai wilayah swapraja dimantapkan melalui surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur Nomor 186 / ORB / 92 / 14 tertanggal 14 Agustus 1950 yang kemudian disahkan menjadi UU Darurat 3 / 1953 dari pemerintah Negara RI. Kemudian wilayah Bulungan berdasarkan UU N0. 22 /1948 menjadi Daerah Istimewa Bulungan. Keputusan itu membuat Sultan Djalaluddin dimandatkan oleh negara Republik Indonesia menjadi Kepala Daerah Istimewa yang pertama sekaligus yang terakhir hingga akhir hayatnya tahun 1958.

Dimasa transisi pemerintahan seperti ini, kerena tak memiliki gedung pemerintahan yang memadai, Kepala Daerah istimewa saat itu, maulana Muhammad Djalaluddin kemudian menetapkan istana Bulungan yang tinggkat dua itu sebagai gedung kepala daerah istimewa dimana semua kegiatan pemerintahan dipusatkan di istana, jadi sesungguhnya sistem satu atap dalam pola pemerintahan sejarah modern Bulungan memang bukan hal yang baru.

Masyarakat Bulungan memang dikenal cukup terbuka dengan hal-hal baru demikian dengan berorganisasi dan politik, menariknya walau telah lama hidup dalam suana kesultanan yang memang masih bernuansa monarky namun Sultan tak pernah menggunakan hak dan kekuasaannya untuk melarang rakyatnya dalam kegiatan politik praktis, perubahan yang mulus menang tak lepas kepemimpinan akhir Sultan Djalaluddin yang kharismatik. Menariknya pemerintah pusat sendiri baru berani mencabut status hal istimewa Bulungan setelah almarhum berpulang ke rahmatullah pada tahun 1958.

(pengaruh belanda makin terkikis setelah penyerahan kedaulatan dan masuknya Kesultanan Bulungan secara sah kepangkuan NKRI)

Setahun kemudian tepatnya setelah UU Nomor 27 tahun 1959 disahkan, berakhirlah status daerah istimewa Bulungan. Sebelumnya telah dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat pertama di Bulungan yang diketuai oleh Muhammad Zaini Anwar (1955-1959). Pada tanggal 12 oktober 1960, dilantik Bupati pertama Bulungan Andi Tjatjo Gelar Datuk Wiharja (1960-1963) yang juga masih kerabat Kesultanan Bulungan. Dimasa beliau ini Ibu kota Kabupaten Bulungan di pindah dari Tanjung Palas ke tanjung Selor.

Bukti sejarah Daerah Istimewa Bulungan

Sama seperti banyaknya sejarah yang terlupa, era transisi dari Monarky ke Republik yang juga di tandai masa sebagai daerah Istimewa dalam sejarah modern Kabupaten Bulungan ternyata tak banyak diketahui dan didokumentasi dengan baik.

Kita kehilangan banyak memory mengenai sejarah Daerah istimewa Bulungan tanpa melihat bukti nyata bahwa sejarah yang mengagumkan itu ada. Jatuhnya istana Bulungan di tahun 1964 menambah catatan panjang kehilangan memory kolektif mengenai masa yang singkat namun penting ini.

Umumnya sejauh yang dapat dipaparkan oleh banyak nara sumber yang saya temui, umumnya mereka mengatakan bukti sejarah tersebut dapat merujuk pada foto-foto peninggalan bersejarah berupa istana tingkat dua yang sempat menjadi kantor kepala daerah Istimewa bulungan waktu itu, sejauh ini itu saja bukti yang umumnya dapat tunjukan. Bukti-buki fisik lain berupa palang nama daerah istimewa Bulungan pun beserta istana yang telah disebut tadi sudah tak ada lagi rupanya.

Pun demikian pula dokumen-dokumen dan surat-surat penting di istana, sulit untuk untuk menemukannya karena memang bisa jadi sudah tercerai berai dan sebagaian tak lagi dapat di baca. Ada kah bukti-bukti lain yang dapat menjalaskan kepada generasi mendatang kita bahwa Daerah Istimewa Bulungan itu memang pernah ada?

(Dokumen sejarah 15 Djuli 1951, dokumen penting sejarah Daerah Istimewa Bulungan)

Penelusuran saya mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan, cukup panjang riwayatnya, kesulitan menemukan bukti fisik tersebut merupakan kendala utama saat itu.

Saya beruntung pada saat melakukan penelitian mengenai sejarah Mesjid Al-Kaff di kampung arab, secara tak sengaja saya menemukan bukti berharga sejarah yang terawetkan dengan baik oleh tangan-tangan dingin yang menjaganya beberapa puluh tahun lamanya.

Kepada Said Mohammad Al-Jufri, saya patut berterimaksih pada beliau karena mengizinkan saya melihat dan menyimpan copy dari sebagain dokumen penting mengenai sejarah mesjid tertua di Tanjung Selor itu. Salah satu dokumen tersebut bertanggal 15 Djuli 1951. Dokumen ini dibuat sezaman dengan masa Daerah Istimewa Bulungan!

Saya tertegun sewaktu membaca dokumen lawas yang kertasnya sudah buram namun tulisannya masih dapat terbaca dengan baik tersebut. Bagaimana tidak, walaupun isinya menyangkut perluasan mesjid Al-Kaff, namun terlihat jelas surat tersebut direkomensaikan langsung oleh Kepala Daerah Istimewa Bulungan, lengkap dengan cap stempel kepala Daerah Istimewa dan cap stempel Wedana Tandjung Selor.

Dalam dokumen tersebut tertulis nama “M. Mohd. Djalaluddin”, selaku Kepada Daerah Istimewa, “M. D. Purwo Nata”, sebagai Wedana Tandjung Selor, bersama “M. Godal” yang tak lain adalah Kyai Mahfud Godal dan “Enci Chairul Alil” sebagai ketua I dan dan Penulis I dalam pengesahan surat tersebut. belum lagi ejaan yang digunakan, tampak jelas masih menggunakan ejaan lama, saya sempat membandingkan dengan dokumen sejarah yang saya miliki, dokumen itu merupakan copy dari sejarah bulungan yang di tulis oleh Datuk Perdana, kemiripan ejaannya sama, artinya surat itu memang ditulis sekitar tahun 1950-an.

(perhatikan baik-baik cap stampel dalam dokumen tersebut, terlihat jelas tulisan Daerah Istimewa Bulungan, pun lihat juga nama dalam tanda tangan tersebut, M. Mohd. Djalaluddin, Sultan Bulungan terakhir dan Kepala Daerah istimewa Bulungan).

Dokumen ini menjadi bukti penting mengenai sejarah Daerah istimewa Bulungan yang tak terbantahkan dan terawat dengan baik. Sulit bagi saya menyembunyikan rasa gembira dan syukur saat menemukan dokumen bercap stempel tersebut, karena sekali lagi kita akhirnya dapat menemukan bukti sejarah tertulis mengenai sejarah Daerah Istimewa Bulungan yang sebelumnya hanya saya dengar tanpa saya melihat langsung bukti fisik dan dokumen yang menyertainya. Lebih jauh kita memang dapat membuktikan bahwa sejarah Daerah Istimewa Bulungan itu memang benar-benar ada bukan sekedar isapan jempol belaka!.


Hikayat Jas dan Songkok Dalam Lintasan Sejarah Bulungan


Salah satu hal yang gemar saya perhatikan dalam foto-foto tua yang buram mengenai kesultanan dan masyarakat Bulungan tempo dulu adalah style pakaiannya. Apa bila kita perhatikan lebih jauh mayoritas dalam foto-foto tua itu kebanyakan khususnya para lelakinya mengenakan songkok, benda ini hampir tak pernah lepas dari kepala tiap lelaki bulungan pada masa itu.

Foto lain juga yang saya perhatikan adalah penggunaan jas, gagah bukan main mereka menggunakan jas tersebut apa lagi di padu dengan songkok, tak beda jauh dengan foto-foto Bung Karno saat masih muda dulu. Pernyataan yang kemudian yang mengena di hati saya adalah kapan songkok dan jas digunakan dalam kehidupan masyarakat dan elit kesultanan bulungan tempo dulu.

Makna jas dan songkok dalam sejarah Bulungan.


Berbicara mengenai songkok maupun jas, berarti berbicara mengenai perlambangan atau syimbol-syimbol keterbukaan masyarakat Bulungan terhadap budaya luar yang kemudian menjelma menjadi identitas masyarakat maupun elit sosial dimasanya. Kedua syimbol ini menyiratkan mengenai jalinan sejarah mengenai interaksi budaya timur dan barat dalam tradisi Bulungan.

Songkok kapan sebenarnya masuk dan menjadi identitas dalam masyarakat bulungan? Tak banyak yang tahu pasti hal tersebut, namun diperkirakan songkok mulai menyebar di Bulungan sejalan era awal terbukanya perdagangan di Tanjung Selor, interaksi budaya dan agama, menyebabkan songkok yang dibawa oleh masyarakat Melayu, Banjar dan Bugis maupun orang arab dengan peci putih dan torbuznya pada abad ke-18 dan meraih momentum pada abad ke-19, sangat mungkin menjadi landasan mengapa songkok menjelma menjadi identitas dalam masyarakat Bulungan.


Tentu saja yang juga tak dapat dilupa adalah dimasa-masa awal kesultanan Bulungan, songkok tak dikenal, melainkan tutup kepala berupa kain yang dililit dikepala, kain ini umumnya berwarna kuning gading.

Faktor-faktor penting yang juga adalah songkok adalah syimbol-syimbol tradisi yang erat kaitannya dengan agama Islam, ini pula yang memudahkan jalan bagi songok menjadi identitas tidak hanya pada tingkatan akar rumput (masyarakat) namun juga tingkatan elit kesultanan Bulungan, bahkan menjadi pelengkap busana penting yang tidak bisa diabaikan.

Islam melarang bermewah-mewah secara berlebihan, karena itu untuk seorang Sultan tradisi Bulungan, mahkota hanya digunakan dalam acara serimonial penting kenegaraan saja –penulis secara peribadipun tak pernah melihatnya walaupun dalam bentuk selembar foto-, disinilah peran songkok begitu penting mengganti mahkota pada kegiatan keseharian, Demikian juga para bangsawan, dalam sebuah foto dimasa Sultan Kasimuddin menjelaskan bagaimana songkok menjadi busana penting, di era Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin songkok bahkan nampaknya menjadi semacam identitas yang mewakili individu-individu tertentu khususnya para menteri yang berada disekitar beliau.

Datuk Laksamana Paduka Radja misalnya, Songkok khas hitam yang bergaris putih melintang adalah ciri dari beliau. begitupula salah seorang petinggi kesultanan Bulungan, terlihat menggunakan songkok dengan motif bertotol-totol menerupai kulit Harimau. Sultan Djalaluddin nampaknya lebih senang warna yang polos putih atau hitam, dalam sebuah foto lain beliau menggunakan peci hitam dengan sedikit renda yang umumnya sering dipakai masyarakat biasa.


Demikian pula jas, pakaian ini dalam bentuk awal mengacu pada bentuk Uniform atau pakaian resmi khusus Gubernur Hindia Belanda dengan sulaman berwarna keemasan, bentuk motif yang digunakan oleh Sultan Bulungan, tentunya tak sama dengan motif yang digunakan oleh Sultan Kutai, Sultan Sembaliung dan Sultan Gunung Tabur.

Uniform ini dalam sebuah foto nampaknya berawal dimasa Sultan Kaharuddin II, catatan sejarah menyebutkan bahwa dimasa tersebut kolonial belanda benar-benar masuk dan mencampuri kehidupan politik, budaya serta ekonomi kesultanan Bulungan, uniform yang kurang lebih sama juga digunakan oleh para sulta setelah beliau pun demikian juga dengan para menteri dan jajaran elit kesultanan Bulungan hanya saja yang tak berubah adalah penggunaan songkok yang tak pernah ketinggalan.

Penggunaan jas sendiri ada banyak macamnya, tentunya tak hanya uniform yang digunakan Setidaknya beberapa foto yang berhasil penulis kumpulkan menimbulkan kesilmpulan bahwa para sultan cukup terbuka dengan mode pakaian ala barat, menariknya walaupun cukup terbuka dalam hal tersebut, namun Belanda tidak benar-benar dapat membuat para sultan menjadi skuler, justru sebaliknya pendidikan agama Islam dijadikan penyaring terhadap budaya barat yang mencapai puncaknya diawal abad ke-20 dilingkungan istana Bulungan.


Hal yang lebih ketat terjadi lingkungan rakyatnya, kesultanan Bulungan memang teguh adat istiadat dan agama Islam sebagai landasan, itulah nampaknya belanda mengalihkan pusat keberadaan mereka lebih besar di kota Tarakan yang majemuk dan terdapat pusat-pusat pengeboran minyak sekaligus pusat pertemuan pemarintahan Hindia Belanda beserta angkatan bersenjatanya.

Epilog

Songkok dan jas merupakan bagian sejarah kesil di zaman kesultanan Bulungan yang terlewat dari padangan kita, padahal keduanya merupakan simbol dari nilai-nilai timur (Islam) dan barat yang coba disatukan sekaligus pula menjadi bentuk pertarungan abadi nilai-nilai budaya timur dan barat yang mewarnai sejarah panjang kesultanan paling dinamis di wilayah utara pantai timur kalimantan ini.

Sumber foto:

Museum Kesultanan Bulungan

Hikayat Penari Jugit Dari Bulungan


Hikayat Naga Dalam Cerita Lisan Orang Tidung dan Bulungan.

Memanen Sejarah Sarang Burung Walet Di Bulungan.


(Desain bubungan istana Bulungan yang unik ternyata menyimpan rahasianya tersendiri, satu lagi master piece Bulungan yang patut di kenang).

Siapa yang tak kenal sarang burung walet, di Bulungan sudah bejibun rumah-rumah walet di buat, maklum selain soal rasa, harga sarang burung walet memang menggiurkan, namun tahu kah kawan, dibalik cita rasanya sebagai barang mewah, ia juga punya sejarah panjang di Bulungan yang layak untuk kita dipanen.

Sekilas Sejarah Sarang Burung Walet Dalam Perdagangan Dunia.


Sarang burung walet, bukan barang baru dalam sejarah perdagangan dunia, bila merujuk catatan sejarah, sarang burung walet menjadi barang yang diperdagangkan dimasa Dinasty Tang (618-907 SM), iapun masuk dalam daftar menu wajib di istana.

Kemudian pada masa Dinasty Ming di tahun 1430, Zeng He alias Cheng Ho dikirim dalam sebuah muhibah resmi keberbagai negera melakukan misi diplomatik dan perdagangan, salah satu komuditi yang diperdagangkan adalah sarang burung walet.

“Berdasarkan catatan sekitar tahun 1587, China mengimpor sarang walet dalam jumlah besar dan mengenakan bea impor. Pada 1618, jumlahnya meningkat pesat karena adanya pengurangan bea impor yang diberikan kaisar dari Dinasti Ming. Pada waktu itu, sarang walet diterima dengan baik sebagai makanan berharga oleh penduduk Provinsi Guangdong dan Fujian,” tulis www.birdnestsoups.com

Jejak rekam sarang burung walet sendiri makin bersinar dengan adanya dua karya pengobatan yang mengharumkan namanya, dimasa Dinasti Qing akhir abad ke-17, karya tersebut tak lain adalah: Ben Cao Bei Yao (Catatan-catatan Penting tentang Bahan Obat-obatan) karya Wang pada 1694 dan Ben Cao Feng Yuan (Bahan Obat-obatan di Alam Terbuka) karya Zhang pada 1695. Orang China percaya sarang burung walet punya daya penyembuh untuk beragam penyakit seperti TBC, sakit lambung, dan perdarahan paru-paru. Ia juga dianggap mampu meremajakan kulit atau memperlambat proses penuaan. Inilah sebabnya Sarang burung walet menjadi mahal karena khasiat yang dimilikinya, mereka sendiri menyebut sup sarang burung tersebut dengan nama Cia Po.

Dimasanya makanan ini menjadi barang mewah, itulah sebab tak semua dapat mengkonsumsinya, walaupun demikian permintaan ekspor impor China yang merupakan konsumen terbesar didunia juga ternyata tidak surut, inilah yang nampaknya membawa berkah bagi perdagangan sarang burung walet di nusantara, apa lagi menu sarang burung walet ternyata telah merata dikonsumsi para penguasa baik di wilayah selatan China seperti provinsi Guangdong dan Fujian, tren yang sama juga terjadi di luar wilayah kekaisaran China.

Kualitas sarang walet ditentukan oleh lingkungan alam dan kondisi gua. Tapi yang terpenting, waktu pengambilan sarang itu sendiri. Sarang terbaik adalah yang didapat dari gua lembab yang dalam dan diambil sebelum burung walet bertelur. Sedangkan yang terjelek, setelah walet muda berbulu. Warna sarang terbaik adalah putih, minim warna gelap, tak tercampuri darah dan bulu. Burung walet umumnya tinggal dan beranak-pinak di gua-gua dekat laut, jauh dari jangkauan manusia. Ada juga walet yang memilih gua-gua pedalaman, termasuk di gua-gua pegunungan kapur.

Menurut Kong et al. (1987), sarang walet yang dapat dikonsumsi oleh manusia berasal dari sarang yang dibuat dari air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga) dan burung walet sarang hitam (collocalia maxima) yang mengandung epidermal growth factor (egf). Sampai kini, harga sarang walet putih lebih mahal daripada sarang walet hitam.

Hikayat Sarang Burung Walet Dalam Lintasan Sejarah Bulungan.


Kapan sebenarnya perdagangan sarang burung walet di Bulungan?, tak dapat dijawab dengan pasti, namun melihat arus kuno rute perdagangan yang disinggahi para pedagang China seperti kepulauan Sulu, Laut China Selatan (sekitar Brunai) dan Selat Makassar yang pada dasarnya melalui Bulungan, maka sangat mungkin usia perdagangan sarang burung ini sudah sangat tua.

Menariknya sarang burung walet yang juga disebut lubang batu dalam istilah setempat khususnya dikawasan pantai timur kalimantan ini nampaknya mempunyai makna lebih dari tersekedar barang dagangan, lebih jauh ia sudah masuk dalam ranah politik.

Bahkan hikayat yang diceritakan oleh Johansyah Balham dalam rubrik Khas Kaltim B-Magezine menyebutkan bahwa seorang raja Kutai pernah memimpin penyerbuan terhadapat sebuah kerajaan kecil yang tak jauh dari wilayah kekuasaannya karena tergoda dengan kepemilikan sarang-sarang Burung walet yang menyebabkan kekayaan melimpah raja kecil tersebut.

Di masa kesultanan Bulungan, sarang burung walet juga memiliki rekaman sejarah panjang, beberapa kisah menyatakan bahwa Sultan membagi-bagikan kawasan lubang batu atau sarang burung walet kepada para bangsawan untuk menjamin kesetian mereka demi mewujudkan stabalitas kerajaan.

Yang lebih menarik lagi, menurut cerita yang disampaikan oleh Datuk Krama, salah seorang sepuh di kampung Tanjung Palas secara tak sengaja berjumpa dengan saya di warung kopi dekat kawasan Museum Bulungan.

Datuk Krama menceritakan pada saya bahwa desain istana Kesultanan Bulungan yang bertingkat dua itu, mempunyai fungsi untuk mengembang biakan sarang burung walet, itulah sebab bentuk atap istana yang khas dekat bubungan dimaksudkan sebagai jalan masuk bagi burung-burung walet yang pergi di pagi hari dan kembali menjelang sore, rungan itu gelap. Ada ruangan yang terletak disudut belakang yang digunakan jalan masuk dan keluar manusia untuk mengambil sarang burung walet tersebut. Kisah ini diaimini oleh salah seorang tua yang mengaku sewaktu kecil sering melihat pemandangan keluar masuknya burung-burung walet melalui bubungan istana tersebut.

Sejauh yang penulis ketahui, sarang burung walet memang menjadi salah satu komuditi ekspor penting khususnya pada abad ke-19. Di pantai timur, pelabuhan Samarinda misalnya menjadi salah satu pelabuhan yang didatangi. Kita beruntung J. Zwager, salah seorang Asisten Residen Belanda di Borneo Timur meninggalkan menuskrip berharga berupa laporan perdagangan di tahun 1853 yang bersisi barang-barang yang diperjual belikan lengkap dengan daftar harganya.

Sarang burung walet dalam catatan J. Zwager dibagi dalam dua jenis yaitu putih dan hitam serta dibagi lagi dalam beberapa jenis dengan daftar harga yang berbeda-beda seperti berikut:

Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 10.—f.12.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 1: f 40.—f.50.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 2 : f 25—f.30.- per kati
Sarang Burung Walet Putih Jenis 3 : f 15—f.20.- per kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 1: f 250—f.350 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 2: f 100—f.200 per 120 kati
Sarang Burung Walet Hitam Jenis 3: f 80 —f.100 per 120 kati.


Bila melihat daftar diatas nyatalah harga sarang burung walet putih dengan kulitas kelas satu mampu mengungguli sarang burung walet hitam walaupun memiliki kualitas yang sama. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa sarang burung walet menjadi rebutan, bukan hanya pada tingkat pasar tapi juga ketingkat istana, tidak hanya itu sarang burung walet juga telah lama menjadi incaran para perompak maupun perampok, bahkan sejak masa perdagangan kuno terjadi di pantai timur kalimantan ini.

Harga sarang burung walet sampai hari ini bahkan tak pernah mengalami penurunan, ini menarik, sebuah situs internet yang saya baca memuat catatan perkembangan sarang burung walet dalam harga pasaran. Pada tahun 1999 saja data penjualan sarang burung walet mencapai kisan harga yang pantastis. Misalnya harga sarang walet yang dihasilkan dari goa-goa alam di Desa Suwaran, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Untuk sarang walet putih seharga Rp 10 juta/kg dan walet sarang hitam seharga Rp 1,5 juta/kg (Solihin dkk., 1999: 61). Sedangkan, harga tertinggi sarang walet putih mencapai US$ 2,500/kg atau setara dengan Rp 25 juta/kg. (dihimpun dari berbagai sumber).

Menerangi Sejarah Kelistrikan Di Bulungan (1925-1964)


(Logo perusahaan Ruston, namanya sempat menjadi legenda di Bulungan)

Listrik sudah merupakan hal yang amat diakrapi dalam kehidupan masyarakat kita saat ini. Tak lengkap rasanya jika tidak ada listrik di rumah, bukan hanya sekedar untuk penerangan, listrik juga digunakan urusan bisnis dan menghidupkan barang elektronik, maka jangan heran jika banyak yang mengeluh jika terjadi gangguan listrik, kegiatan rumah tangga dan industri bisa terganggu.

Namun pernah kah kita bertanya, bagaimana asal mula keberadaan Listrik di Bulungan? Percaya atau tidak listrik sebagai penerangan mempunyai hikayat yang panjang dimasa lampau, bicara soal listrik, maka tak lengkap bila kita tidak mengupas soal Ruston, legenda kelistrikan bulungan yang coba penulis hidupkan kembali sejarahnya.

Ruston dan Sejarah listrik di zaman Kesultanan Bulungan.


Apa itu Ruston? Mungkin bagi sebagian orang, Ruston adalah nama yang asing, namun dimasa lampau Ruston merupakan salah satu legenda sejarah yang sejujurnya masih dbicarakan oleh sebagian kecil orang-orang tua di Tanjung Palas demi mengenang keberadaannya. Ruston tak lain adalah mesin pembangkit listrik pertama dalam sejarah Bulungan.


(Ilustrasi mesin pembangkit listrik Ruston, bentuk yang kurang lebih sama dengan ada di Tanjung Palas tempo dulu)

Mesin-mesin listrik di bulungan dimasa lampau menggunakan merk produksi Ruston, itulah sebabnya mesin tersebut dikenal dengan nama tersebut. Nama Ruston yang melegenda itu sendiri diambil dari perancang dan pendiri pabrikanya Joseph Ruston.

Titik penting kemajuan raksasa industri Ruston nampaknya dimulai Pada tanggal 11 September 1918, perusahaan digabung dengan Richard Hornsby & Sons. Hornsby adalah pemimpin dunia dalam mesin minyak berat, yang telah berkarya sejak 1891, delapan tahun penuh sebelum Rudolph Diesel memproduksi mesin disel secara komersial.

Kapan mesin-mesin pembangkit listrik buatan Ruston masuk ke Bulungan? Dalam catatan sejarah, penggunaan listrik mulai masuk dan berkembang dimasa Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin, Sultan melakukan program listrik murah di seluruh Tanjung palas, listrik-listrik di sambung ke rumah-rumah penduduk dengan bayaran yang miring. Mesin-mesin ini nampaknya dibawa bersamaan dengan kemajuan industri minyak di Tarakan sebelum perang pasifik pecah.


(Perhatikan tiang listrik di dekat istana, pemandangan seperti ini dulu lazim ditemukan, untuk saat ini ting listrik zaman kesultanan Bulungan sudah tidak ada lagi. Galeri foto: www.bulungan.go.id)

Menurut kisah yang dituturkan penduduk setempat, Basran Umar 53 th, ia menceritakan dahulu “neneknya”, Abdul Rasyid sempat mengoperasikan mesin-mesin berat tersebut dibantu dua orang pegawainya.

Mesin Ruston di Bulungan, tambahnya terdiri dari dua buah, ukurannya sangat besar dan bentuk bagunannya menyerupai leter “L”, jangkauan mesin ini sendiri, hampir mengkover seluruh tanjung palas saat itu, jarak jangkauannya jika ke tanjung Palas Ulu hampir mendekati jalan trans kaltim atau jembatan tanjung palas saat ini, sedangkan ke arah tanjung Palas Hilir menjangkau hingga daerah pabrik dekat daerah lebong sekarang, bahkan konon hingga dekat daerah karang anyar.

Ruston masih dioperasikan setelah kemerdekaan, jasa sangat besar untuk memajukan taraf hidup penduduk saat itu, bisa dikatakan jaman dahulu Ruston merupakan ikon penting kemajuan kota Tanjung Palas. Jalan-jalan di tanjung palas terang benderang dengan lampu-lampu neon di sepanjang jalan, konon Tanjung Selor sendiri masih belum merasakan kemewahan ini, tentunya jadi kenangan manis bagi yang merasakannya.


(Sisa-sisa kejayaan Ruston yang terlupa oleh kita)

Sayangnya nasib Ruston yang legendaris itu ternyata tak semanis namanya besarnya, pada saat istana Bulungan jatuh dalam huru-hara tahun 1964, Ruston mengalami kerusakan parah, hampir-hampir tak dapat difungsikan, saking sulitnya dihancurkan, mesin-mesin raksasa ini konon harus dirusak dengan air raksa oleh pihak yang tak bertanggung jawab.

Bak jatuh tertimpa tangga, Ruston akhirnya hanya menjadi kenangan yang nyaris terlupakan, terlebih setelah sisa-sisa bagkainya dilego menjadi besi tua, setelah itu Ruston seakan hilang dalam ingatan sejarah Bulungan.

Sisa-Sisa Kejayaan Ruston Yang Terlupakan.

Saya pikir tak ada salahnya jika saya harus berterimaksih dengan salah seorang sahabat saya Datuk Isa Anshari, sebab dari dialah saya mengenal Ruston pada awalnya.

Saat pertama kali saya mendekati puing-puing bangunan Ruston, ada rasa takjub dalam diri saya, bagaimana tidak, mendekati umur setengah abad bangunan itu di hancurkan, namun pondasinya masih sangat kokoh, seolah saya menemukan sisa-sisa reruntuhan benteng kuno.


(Tangga di salah satu sisi reruntuhan)

Kualitas bangunan betonnya memang nomor wahid, ketebalan pondasi dan luas ukurannya, membuat saya dapat menimbang betapa besar dan beratnya mesin-mesin raksasa tersebut. Saya tak habis pikir mengapa bagunan seindah ini luput dari perhatian.

Walaupun tak digubris waktu, reruntuhan Ruston ini masih menyimpan Aura kemegahannya, ada tangga disisi bangunan, mungkin dahulu pintu masuknya dari situ, pun demikian dengan tempat pemutar roda-roda raksasa, masih ada disitu, sedikit terendam air hujan, demikian pula dengan beberapa baut-baut besi yang sudah berkarat, dengan sedikit sisa nafas, Ruston ternyata masih mampu menceritakan kisahnya pada saya.


(Bekas landasan roda-roda raksasa Ruston, tergenang air dan kurang terawat)

Tak dapat saya pungkiri dibalik ketakjupan saya pada sisa-sisa reruntuhan Ruston, ada sedikit rasa sedih di hati saya, Sebab Ruston tak seperti Warmound yang selalu dikenang, Ruston terlupakan oleh kita dan waktu, sama seperti waktu yang sudah mengaratkan sisa-sisa besi yang terongkok lesu disitu, disinilah awal dan berakhir kisah Ruston yang legendaris itu. (ditambah dari berbagai sumber).

No comments:

Post a Comment