Sejarah Suku Toraja
Tana Toraja (wikipedia) |
Menurut teori migrasi, nenek moyang suku bangsa Toraja, berasal dari dataran tinggi Cina Selatan atau dari Indochina pada masa ribuan tahun silam. Dalam perjalanan mereka menyusuri sungai Mekong di semenanjung Indochina dengan mempergunakan perahu yang terbuat dari kayu-kayu besar yang terdapat di sepanjang pantai Vietnam dan Kamboja. Mereka menuju ke laut Cina Selatan menyeberang ke Philipina, semenanjung Melayu dan selanjutnya menyebar ke pulau-pulau Nusantara. Rombongan ini mulai berpencar di Semenanjung Makassar dan seperti kebiasaan bangsa Proto Malayan yang lebih suka bermukim di pegunungan, memilih melanjutkan perjalanan dengan perahu menyusuri sungai Karama di Sulawesi Tengah dan Sungai Sa’dan di Sulawesi Selatan. Melalui sungai Sa’dan, mereka berlayar sampai di sebuah kampung yang diberi nama Endekan yang artinya “Kami naik”. Dalam perjalanan menuju ke pegunungan, mereka tiba di suatu kampung yang mereka namakan “Padang Dirura” di mana tempat itu sekarang termasuk kecamatan Alla’ kabupaten Enrekang. Mereka membuat tempat itu sebagai pemukiman dan melalui musyawarah , diangkatlah Puang Tangdilino dengan Puang Buean Manik isterinya sebagai Pemimpin (kepala pemukiman).
Beberapa waktu kemudian ketika Puang Tangdilino mendengar bahwa rekan-rekan mereka yang berlayar melalui sungai Karama di Sulawesi Tengah sudah tiba di kampung Kalambe’ sekarang disebut Rantepao, barulah Puang Tangdilino dengan Puang Buean Manik isterinya melanjutkan surveynya ke Tana Toraja dan tibalah di suatu pemukiman yang disebut “Tallung Penannian” (palipu’, Tengan dan Marinding) yang artinya 3 kelompok penduduk yang hidup sehati, sejiwa dan sepikir.
Puang Tangdilino suami-isteri tertarik dengan kesatuan “Tallung Penanian” sehingga mereka mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh ketua rombongan dari Kalambe’, Tallung Penanian maupun penduduk Padang Dirura untuk membuat beberapa aturan dan mengangkat beberapa pemangku adat dan mulai saat itu setiap ada acara apapun bentuknya dalam lingkungan mereka harus melalui musyawah pemangku adat dari masing-masing anak suku Toraja.
Suku Toraja, terdiri dari beberapa sub-suku, yaitu:
- Toraja Bare’e
- Toraja Tokea
- Toraja Rongkong
- Toraja Kolonedale
- Toraja Seko
- Toraja Galumpang
- Toraja Mamasa
- Toraja Duri
- Toraja Sa’dan
- Toraja Tae’
Toraja Tae’ dan Toraja Sa’dan lah yang selanjutnya mendiami kabupaten Tana Toraja sampai saat ini.
Puang Tagdilino dengan Puang Buean Manik, datang dari Enrekang pada malam hari membawa rangka bangunan rumahnya. Pada malam hari mereka beristirahat di sebuah desa pegunungan. Pagi hari berikutnya mereka melanjutkan perjalanan mereka ke Marinding. Karena mereka sudah terlalu letih, pintu mereka tertinggal di tempat mereka bermalam. Mereka tiba di Banua Puan dan Puang Tangdilino melihat tempat itu baik. Lalu Puang Tangdilino menyuruh pengikutnya mendirikan rumah dari kerangka bangunan yang dibawa. Setelah dipasang, pintu rumah tidak ada. Barulah mereka sadar bahwa pintu rumahnya tertinggal di tempat istirahat semalam. Puang Tangdilino lalu menyuruh pengikutnya kembali ke tempat bermalam untuk mengambil pintu rumah. Sesampai di tempat bermalam sebelumnya, ternyata pintu rumah yang dicari tidak ada karena sudah dipasang di rumah orang sana. Orang di sana menitip pesan kepada orang suruhan Puang Tangdilino bahwa pintu rumahnya Puang sudah dipasang di rumah orang di sana, apakah Puang tega mencopot kembali pintu yang sudah dipasang?. Lalu Puang Tangdilino berkata, kalau begitu tempat itu harus dinamai “Ba’ba-ba’ba” dan itulah yang dikenal sampai hari ini. Setelah rumah Puang Tangdilino selesai dibangun, maka tempat itu dinamai “Tongkonan Banua Puang” yang artinya rumah tempat kerajaan pertama di Toraja. Karena di Marinding tidak boleh ada gelar Puang, maka diganti namanya menjadi “Banua Puan” dan itulah yang dikenal sampai hari ini. Bertahun-tahun lamanya Puang Tangdilino dan Puang Buean Manik tinggal di Tongkonan Banua Puan dan di sanalah mereka melahirkan 9 orang anak. Dari mereka lah berkembang keturunan-keturunan Toraja hingga kini.
No comments:
Post a Comment